Sabtu, 26 Februari 2011

Taliabu (Suku Mange) SEJARAH SINGKAT.....Helika Mansur


Pada 60.000 tahun yang lalu ketika permukaan air laut menurun 50 meter dari kondisi saat ini, para pemburu mengumpulkan makanan, Ras Australo-Melanesia yang berkulit hitam dari daratan sunda (Paparan Sunda) entah bagaiman caranya menyeberangi dan memasuki pulau-pulau di Wallacea dan mencapai daratan Sahul (Paparan Sahul), (Read, 2005:18-19).
             Menurut Arkeolog dari Universitas Nasional Australia yaitu Matthew Spring dalam M Adnan Amal mengatakan bahwa Maluku telah di diami manusia sejak Zaman es (Pleastocene) 30.000 tahun yang lalu. Ketika itu, Maluku merupakan kawasan kritis menjadi mata rantai penghubung antara kawasan Pasifik dan Asia Tenggara. Menurut sejumlah sarjana, kawasan ini memiliki peranan penting dalam masa prasejarah. Merupakan daerah lintasan strategi bagi perpindahan penduduk Asia Tenggara ke Paparan Sahul, (Amal,2001:1).
            Richar Shutler Jr dalam M Adnan Amal mengatakan bahwa pulau-pulau terbesar di Maluku merupakan kunci untuk menetapkan lokasi temuan asal penduduk yang berbahasa Austronesia, (Amal,2001:1). Penduduuk pertama Pulau-pulau Maluku seperti halnya di Nusantara adalah ras Austromelanesoid dan Mongoloid  yang datang dari Asia tenggara. Austromelanesoid bermukim terbesar di Maluku dan terisolasi (Halmahera Utara) satu rumpun atau golongan  dengan berbahsa Austronesia (bahasa Papua dan kepulauan Pasifik), (Amal,2001:2).
            Sekitar 3.000 tahun SM, dalam sejarah Indonesia terdapat kemunculan para pelaut dari ras Mongol yang berasal dari Formosa (Taiwan) yang melakukan perjalanan ke selatan, yang terpenting mereka memperkenalkan bahasa Austronesia dan terpecah menjadi 40 bahasa, (Read,2008:20).
            Orang Melayu datang dari Asia tenggara yang sering dikenal dengan Zaman tembikar, datang dengan dua golongan, yang pertama golongan Proto Melayu dan golongan yang kedua Deutro Melayu, (Amal,2001:3). Proto Melayu terdesak dan menyingkir ke daerah pedalaman dan membentuk komunitas terpencil (Alefuru) lajim mendiami tepian danau dan hulu atau tepian sungai. Deutro Melayu menetap pada pesisir-pesisir pantai,
Seperti perkampung Ufung, Air Bulan, Natang Kuning, Padang dan Ruma Ampa, perkampungan ini terletak  di pedalaman Pulau Taliabu sekitar 2-3 km dari pantai. Letak perkampungan ini mendiami tepian sungai-sungai besar. Sedangkan perkampungan yang terletak di pesisir pantai seperti parkampung Nunca.
            Dalam hasil wawancara dengan Yance Kimlaha, mengatakan bahwa zaman batu di Taliabu bagi Suku Mange dikenal dengan Ngaha atau batu yang digunakan sebagai alat pemotong atau Peda (parang), (Yance kimlaha, Bakiki, 14/12/2009). Sedangkan tembikar atau guci-guci yang lagi marak di sebut barang antik  bertaburan dan tertutup tanah di pesisir utara sampai pesisir barat Pulau Taliabu yang merupakan bukti-bukti arkeolog.
            Jauh sebelum Kerajaaan Ternate menyebarkan pengaruhnya di wilayah ini, Taliabu masih di bawah komando Sanana, pada waktu itu Perdana Mentri bergelar “Matuwo Suwo” sekaligus bertindak sebagai Panglima Perang. Sistem pemerintahan ini meliput Taliabu, Mangoli dan Sanana.
            Pada tahun 1350, Kolano Macahaya memiliki persahabatan dengan orang-orang Arab, dengan persahabatan yang baik dan ramah sehingga memperoleh pengetahuan navigasi. Dengan ini Kolano Macahaya berlayar ke Sula-Taliabu dan akhirnya ditaklukan serta menempatkan salah satu dari ketiga anaknya, yakni Hamid sebagai penguasa di kepulauan Sula-Taliabu, (Amal,2002:159).
            Sebelum ditaklukan, satuan-satuan tempur yang diperkuat oleh armada-armada yang merupakan satuan tempur Kolano Macahaya yang sangat terampil, berani dan terorganisir yang baik, karena telah berhasil menduduki ketiga pulau tersebut. Gertak meju armada yang dipimpin Kolano Macahaya tak dapat dibendung oleh satan-satuan pengawas pantai Kerajaan Sanana. Dalam pertempuran yang kurang berarti tersebut, Sang Matuwo Suwo mati terbunuh dan kedudukan Matuwo Suwo digantikaan oleh adiknya yaitu Egolhanaka.
            Dua tahun setelah penobatan Zainal Abidin sebagai Sultan Ternate yang peratama, yakni pada tahun 1495. Zainal Abidin mengangkat kepala keluarga Tomaito sebagai Salahakan di  Kepulauan Sula. Pada tahun 1580. Sultan Babullah memerintahkan Kapita kapalayai  memimpin lima juangga untuk mensterilkan Kepulauan Sula dan diperintahkan untuk mengambil alih kampung-kampung bahkan sampai di pulau-pulau Timur Sulawesi, Banggai, Tobungku, Pangasain serta terjadi perlawana di Buton, (Amal,2002:209).
            Di masa Kesultanan Hamzah, yakni pada tahun 1631 armada Ali tiba di Sula. Di daerah-daerah yang tidak memiliki pemerinthan atau penguasa lokal, Sultan Hamza mengirimkan wakilnya sebagai kepala pemerintahan yang di sebut Salahakan. Di daerah-daerah ini Sultan menjalankan pemerintahannya secara  lansung. Salahakan merupakan pemerintahan lokal yang berkedudukan di Sanana, yang menjalankan titah-titah Sultan dan dibantu Sangaji dan Kimalaha di Taliabu, (Amal,2002:37).
            Pada tanggal 15 Februari 1804 terjadi perampokan dan pemberontakan di kepulauan Sula-Taliabu yang dilakukan beberapa Juangga Tobelo. Pemerintahan Belanda menyampaikan nota protes kepada kesultanan Tidore dan memerintahkan mengambil tindakan dengan mengambil pelaku ke Tidore dan memberikaan hukuman. Tanggal 20 Februari 1804, surat balasan dari Sultan Nuku bahwa tidak tahu menahu dengan persoalan ini. Yang memberontak ialah Kapita Lau Maba dari Tobelo, (Amal dan Djafar,2003:223).
Dengan hasil wawancara, Palele atau Paitua Nei mengatakan kapal Kapita Lau berjumlah 15 dan satu bulan tiga kali datang ke Taliabu. Pemberontakan yang di lakukan oleh Kapita Lau setelah tiba dari Buton dengan membawa sandraan perang dan beristirahat di Salu (salah satu desa di Taliabu Utara yang sekarang dikenal dengan Desa Sahu). Pada saat malam hari Kaapita Lau tertidur, semua sandraan terlepas, sandraan berjumlah 40 0rang perempuan dan 4 orang laki-laki. Keesokan harinya terjadi perlawanan antara para tawanan dan pasukan Kapita Lau di salah satu wilayah yang sekarang di kenal dengan Desa Tikong, (Palele/Paitua Nei, Air Bulan,21/12/2009).
            Pada tanggal 17 Maret 1824, Traktat London disepakati oleh Ingris dan Belanda untu mencegah terjadinya konflik  antara kedua negara di Malaka. Dalam Traktat London, ruang lingkup Kerajaan Inggris hanya mencapai semenanjung Malayu, Kepulauan Maluku dan semua kelompok pulau yang terletak antara Sulawesi, Papua, Timur kapal-kapal Inggris hanya bisa singgah pada pulau yang di tentukan, sepeti Taliabu, (Amal dan Djafar,2003:239).
Dengan hasil wawancara, Palele atau Paitua Nei mengatakan bahwa  kampung bernama London yang dibuat orang  Inggris yang sekarang disebut Gela (Ibu kota kecamatan Taliabu Utara), dulunya ada patung yang dibagun di bagian belakang kampung entah bagai mana sudah tidak ada lagi. Salah satu sumbangsih bangsa Inggris yang masih berbekas yaitu bahasa yang selalu di pakai oleh Orang Mange, Banana artinya Pisang dan Sugar yang artinga Gula, (Palele/Paitua Nei, Air Bulan,21/12/2009).
Sedangkan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa asli di dalam komunitasnya, sedangkan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan masyarakat yang bukan asli atau masyarakat pendatang digunakan bahasa indonesia, tetapi berdialek yang disebabkan oleh bahasa asli.
Masuknya Belanda pada tahun 1909, maka Kepulauan Sula dijadikan Order Afdeeing dengan kepala pemerintahannya disebut Controler dan berkedudukan di Sanana. Berdirinya Onder Afdeeling dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Salahakan beserta Sangaji-Sangaji. Belanda kemudian membangun distrik-distrik yang diantaranya Distrik Sanana, Distrik Pas Ipa (Mangoli), Distrik Kawalo (Taliabu).
 Untuk mempertahankan Distrik, Belanda membuat Benteng yang disebut Benteng Kawalo. Benteng Kawalo berada di tepi danau Lekitobi dan berada pada ketinggian  kurang leih 50 meter. Keadaan benteng tinggal pondasi yang tersisa dan sebagian sudah berubah menjadi semak belukar. Menurut Camat Taliabu Barat, dahulu terdapat beberapa bangunan dan kuburan di lokasi benteng. Pada bagian bawah di pinggir danau terdapat tinggalan 2 buah meriam, dengan panjang sekitar 70-80 cm.
Dalam hasil wawamcara dengan Pak Bunga Harun Kimlaha mengatakan bahwa dalam komunitas Suku Mange nama Taliabu terdirri atas kata Ta Lia Bu. Ta yang artinya Tarnate, Lia yang artinya tali atau pengikat dan Bu yang artinya Buton. Sehingga Taliabu dimaknai sebagai pertalian antara Ternate dan Buton, (Pak. Bunga Harung Kimlaha, Padang Tenga, 20/12/2009).
 Sedangkan nama dari Suku Mange, Mange diartikan sebagai sebagai orang atau masyarakat yang tidak mengenal pri kemanusiaan dan tidak tahu apa-apa (alefuru). Dalam tinjau histori kehidupan Masyarakat Mange pada zaman dahulu mereka saling membunuh, apalagi bertemu dengan orang yang mereka tidak kenal atau orang baru, itu dianggap sebagai musuh yang menganggu, (Yance Kimlaha, Bakiki, 14/12/2009).


BY. HELIKA MANSUR

6 komentar:

  1. Jika benar pulau Seram disebut "nusa ina" yang melahirkan penduduk pulau-pulau disekitarnya bukankah orang Taliabu berasal dari Nusa Ina? Pecahnya kerajaan Nunusaku di Seram membuat semua penduduk menyebar ke pulau-pulau sekitarnya. Apakah termasuk Taliabu? Mohon penjelasan. Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soal nama ta, lia dan bu rasanya abstrak... tolong d jelaskan hubngan ternate dan buton hngga mnjadikan nama taliabu.

      Hapus
  2. jangan bicara sejarah kalo tdk tau asal usul kimlaha taliabu ..

    BalasHapus
  3. jangan bicara sejarah kalo tdk tau asal usul kimlaha taliabu ..

    BalasHapus
  4. Klo tulisan tersebut diatas tdk benar, bisa diklarifikasi, at bikin penelitian utk memperoleh data yg akurat ttg sejarah dan budaya masyarakat pulau taliabu..

    Trima kasih

    BalasHapus
  5. Mungkin harus klarifikasi terkait arti nama taliabu biar jelas

    BalasHapus